Rabu, 29 Juli 2020
Keluaran 21 : 7 – 11
Dalam kehidupan bangsa Ibrani kuno, menjual diri sebagai budak adalah cara bertahan hidup agar mendapat makanan dan perlindungan dari tuannya. Tuannya bisa memperkerjakan budak hanya enam tahun dan tahun ketujuh (tahun Sabat), budak tersebut akan menjadi orang bebas. Bila tuannya memberikannya istri dan melahirkan anak, maka istri dan anak tersebut tetap merupakan milik tuannya. Pilihan ada pada budak yang telah bebas tersebut, apakah ia memilih menjadi orang merdeka, atau tetap menjadi budak seumur hidup agar bisa bersama istri dan anak di rumah tuannya. Sekalipun sebagai budak, status dan hubungan budak dengan istri dan anaknya dihormati. Untuk budak perempuan, tuannya wajib melindungi dan memperlakukan mereka selayaknya. Bila kewajiban tuan itu diingkari, budak perempuan boleh ditebus, bahkan diizinkan kembali menjadi orang merdeka tanpa membayar tebusan. Tuhan menuntut kepatutan dan belas kasih dalam hidup bangsa Israel. Namun, di zaman modern ini, sering kali kita mendapati perbudakan terjadi di mana-mana. Bukan saja orang dewasa yang dijual dan dijadikan budak, namun anak-anak juga. Begitu banyak kasus anak yang dijual orang tuanya untuk dijadikan budak orang berduit hanya demi melunasi hutang orang tuanya. Ada juga anak sebagai pihak lemah dieksploitasi secara ekonomi maupun politik. Anak perempuan dijebak sebagai buruh murah di negeri lain dalam industri prostitusi. Sebagai keluarga, orangtua dan orang dewasa, mesti menjadikan rumah sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak. Dan anak-anak mesti dilindungi dari berbagai perlakuan-perlakuan yang menghancurkan hidup dan masa depan mereka. Tuhan menginginkan kita menghargai hak hidup orang lain, teristimewa anak-anak.
Doa : Ya Tuhan, tolong kami untuk melindungi anak – anak kami demi masa depan mereka, Amin.
Sumber : Sinode GPM – SHK Bulan Juli 2020