Sabtu, 20 Juni 2020
Yesaya 24 : 14 – 20
Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata. Tinggi gunung s’ribu janji, lain di bibir lain di hati….”,. lirik lagu ini mengisahkan suatu karakter hidup yang tidak tulus dan tidak jujur. Apa yang dikatakan berbeda dengan apa yang dilakukan, ada orang yang senang berargumentasi, beropini dengan lantang, tetapi sayangnya hal itu tidak terlihat dalam sikap dan perilaku hidupnya sehari-hari. Bacaan kita hari ini menggambarkan kehidupan manusia yang tidak jauh berbeda dengan realitas kehidupan saat ini. Yesaya melihat bahwa meskipun banyak orang di dunia memuji Allah dengan bibir mulutnya, dengan seruan dan puji-pujiannya, namun hati mereka tidak tertuju kepada Allah. Hati mereka tetap melekat pada berbagai kesenangan dan kenikmatan dunia, kepada anggur yang memabukkan dan pesta pora yang keji. Mereka lebih mencintai kemewahan dunia daripada menyembah Allah, mereka tidak menghormati Tuhan Allah lewat sikap dan laku hidup mereka. Mereka terus melakukan kejahatan, mereka bahkan disebut sebagai penggarong yang menggarong. Oleh sebab itulah Yesaya terus menyampaikan nubuatnya tentang penghukuman Tuhan bagi orang-orang yang tidak setia kepadaNya. Yesaya menggambarkan bahwa hukuman itu berupa ancaman kehancuran bumi dan seluruh isinya termasuk manusia. Memang tanggungjawab manusia adalah merawat bumi tempat huniannya, dengan menjaga kesuburan tanah dari ancaman pestisida, menjaga kebersihan sumber air dari pencemaran lingkungan, menjaga lingkungan tetap bersih, semua itu adalah cara kita mewujudkan iman kepada Tuhan. Kita beribadah, berdoa dan memuji Tuhan adalah ibadah ritual kita, namun tidaklah lengkap jika tidak disertai dengan ibadah sosial, yaitu menjalin relasi persaudaraan dan persahabatan dalam solidaritas dengan sesama manusia dan juga alam semesta, itulah iman yang sesungguhnya yang dikehendaki oleh Allah.
Doa : Tuhan, biarlah apa yang kami katakan, itu yang kami kerjakan. Amin.
Sumber : SHK Sinode GPM